ALAMAT : KANTOR PUSAT & ASRAMA PUTRI 1 JL. MERBABU NO 26 KODE POS 63121 TLP. 0351-453920, ASRAMA PUTRI 2 JL. JOIRANAN NO 25, ASRAMA PUTRA JL. TRENGULI NO 18B, rintisan mbs hamka jl poncowati demangan kota madiun
Diberdayakan oleh Blogger.
ASRAMA UPTODATE

STUDI PEMIKIRAN IBN MISKAWAIH (Pendidikan Etika Dalam Perspektif Ibn Miskawaih)

Written By pa-ponpes-muhammadiyah-madiun on Desember 20, 2012 | 05.03



Dalam tradisi pemikiran filsafat Islam, etika merupakan salah satu satu aspek yang paling dominan. Betapa tidak, sejak masuknya gelombang hellinisme (wave of hellenism) dalam dunia pemikiran Islam, etika telah menjadi bagian yang tak trpisahkan dari filsafat. Tokoh-tokoh filsafat di masa itu adalah juga dikenal sebagai tokoh-tokoh penggagas etika, seperti pada aliran stoic (al-ruwwaqiyyah), Pythagoras, Galenus, Plato, Socrates, dan Aristotle sendiri, bahkan tokoh-tokoh filsafat neo-Platonisme, seperti Plotinus dan Porphirus adalah sumber-sumber penting etika dalam Islam. Di samping itu, persoalan etika sebenarnya menyangkut cara berpikir (mode of thought) yang berlaku dalam tradisi yang hidup (living tradition) yang mencakup beberapa faktor yang saling terkait, yang nota bene adalah persoalan filsafat, dan bukan sebagai atuaran yang menentukan berbagai sikap masyarakat yang menyangkut baik buruk (baca: moral), seperti yang sementara ini dipahami.

Sungguhpun etika terkait dengan moral, tetapi persoalan etika bukanlah sekedar moral. Moral adalah aturan normatif yang berlaku di suatu masyarakat tertentu, yang terbatas pada ruang dan waktu, dan inilah yang disebut dengan akhlaq dalam Islam. Dengan demikian, etika merupakan suatu pemikiaran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran  moral.

Di antara para tokoh etika Islam adalah filsuf Ibn Miskawaih, yang dalam dunia filsafat Islam dikenal sebagai guru ketiga (al-mu’allim al-tsalits) setelah Aristoteles dan al-Farabi, dianggap sebagai salah seorang tokoh filsuf yang menggagas filsafat etika. Semangat dan perhatiaannya yang begitu intens terhadap bidang ini, dimulai ketika Ibn Miskawaih menjabat sebagai pejabat pada pemerintahan ’Adlud al-Dawlah (tahun 367-372 H.) di masa kekuasaan Bani Buwaih (Dawlat Bani Buwaih). Masa-masa ini bagi Ibn Miskawaih adalah masa yang dilanda dekadensi moral yang luar biasa. Karena, meskipun puncak prestasi dan kejayaan yang dicapai oleh pemerintahan ’Adlud al-Dawlah ini tidak dibarengi dengan ketinggian akhlaq secara umum, baik di kalangan elite, maupun rakyat jelatah. Adalah hal yang mendorong Ibn Miskawaih memusatkan perhatiannya pada persoalaan etika.
Untuk itu, Ibn Miskawaih menegaskan perlu adanya usaha untuk menyelaraskan akal budi dan iman (baca: syariat). Lebih dari itu, Miskawaih menekankan bahwa hakekat manusia adalah makhluk sosial, maka hendaknya manusia tidak hanya memperhatikan dirinya sendiri, melainkan juga memperhatikan orang lain. 

Hal ini, bertolak dari pandangan Miskawaih tentang etika, yang menurutnya adalah kondisi jiwa yang mendorong manusia untuk melakukan suatu perbuatan secara spontan (tanpa pikir ataupun ragu). Dan yang sedemikian itu tercapai manakala seseorang telah melalui tahapan-tahapan tertentu (al-syarai’ wa al-ta`dibat), sehingga mampu melakukan perbuatan itu secara reflek, yang kemudian dikenal dengan pendidikan (al-tarbiyah wa al-ta`dib).
Makalah ini tidak hendak mengeksplorasi semua pemikiran filsafat etika Ibn Miskawaih, melainkan sekedar menelusuri pemikiran etika Miskawaih dari perspektif pendidikan. Untuk itu akan dikemukakan dalam konteks ini, setting historis pemikiaran dan biografi Ibn Miskawaih serta pokok-pokok pemikirannya dalam bidang etika terutama ditinjau dari sudut pandang pendidikan.

Kerangka Metodologis Miskawaih

Pokok-pokok pemikiran filsafat etika Ibn Miskawaih secara terperinci dipaparkan dalam karya monumentalnya Tahdzib al-Akhlaq wa Tathhir al-A’raq. Karya inii terdiri dari tujuh bab: yang secara sistematis dimulai dengan pembahasan tentang jiwa; pada bab dua, tentang fitrah manusia dan asal usulnya; bab tiga, yang merupakan bagian utama akhlak, membicarakan keutamaan, terutama membicarakan tentang kebaikan dan kebahagiaan; bab lima, membicarakan tentang keadilan dan menerangkannya secara mendetail tentang arti keadilan; bab lima, membahas masalah persahabatan dan cinta; sedangkan pada dua bab terakhir, yakni bab keenam dan ketujuh Ibn Miskawaih memberikan gambaran beberapa hal yang berkaitan dengan penyakit jiwa berikut teknik pengobatannya.

 Etika Ibn Miskawaih memperoleh konsep dan metode pembahasannya secara eklektik dari karya-karya filsafat Yunani, kebudayaan Persia, doktrin syariat Islam, dan pengalaman pribadi. Para filsuf Yunani yang sangat besar pengaruhnya terhadap pemikiran etika Ibn Miskawaih adalah Plato, Aristotle, Zeno, Galenus, dan beberapa tokoh filsuf etika lainnya. Usaha Miskawaih, sebagaimana para filsuf muslim lainnya, adalah memadukan antara teori-teori filsafat dengaan pandangan-pandangannya sebagai seorang muslim. Namun begitu, nuansa pemikiran etika Miskawaih, terutama dalam Tahdzib al-Akhlaq sangat kental dengan trend pemikiran Aristotle.

Kalau karya monumental Miskawaih Tahdzib al-Akhlaq sebagai dasar-dasar teoritis pemikiran etika, maka karyanya Tajarib al-Umam wa Ta’aqub al-Himam memberikan contoh-contoh kongkrit dari teori yang dia bangun, di mana Miskawaih menulisnya di masa-masa akhir penulisan karya-karyanya. Lebih dari itu, tatkala buku Tahdzib al-Akhlaq membahas persoalan etika secara teoritis, maka bukunya yang lain al-Hikmah al-Khalidah menelaah delik-delik etika pada tataran praksis, adalah hal yang menunjukkan kedalaman dan keluasan ilmu Miskawaih, dan betapa besar perhatian dan kepeduliannya terhadap persoalan etika dan khazanah pemikiran klasik, sehingga wajar jika dijulki sebagai bapak etika Islam.



Biografi Ibn Miskawaih dan Pemikirannya

Written By pa-ponpes-muhammadiyah-madiun on Desember 02, 2012 | 14.01


Ibn Miskawaih
Nama lengkapnya  Abu ’Ali al-Khazin Ahmad ibn Ya’qub ibn Miskawaih, adalah seorang filsuf muslim yang dianggap mampu memadukan dua tradisi pemikiran Yunani dan Islam, di samping juga ahli dalam filsafat Romawi, India, Arab, dan Persia, yang memusatkan perhatiannya pada filsafat etika Islam, meskipun sebenarnya Miskawaih adalah juga seorang dokter, sejarawan dan ahli bahasa. Lebih dikenal dengan nama Miskawaih atau Ibn Miskawaih. Nama itu diambil dari nama kakeknya yang semula beragama Majusi (Persia) yang kemudian masuk Islam. Julukannya adalah Abu ’Ali, yang yang merujuk kepada sahabat ’Ali ibn Abi Tholib, di samping juga bergelar al-Khazin yang berarti bendaharawan, karena jabatannya sebagai bendaharawan (baca: mentri keuangan) pada masa kekuasaan ’Adlud al-Dawlah dari Bani Buwaih (al-dawlah al-buwaihiyyah).
            Ibn Miskawaih dilahirkan di Ray (Teheran Iran, sekarang). Para penulis sejarah berselisih pendapat tentang tanggal kelahirannya.  Namun pendapat yang lebih kuat mengatakan Miskawaih lahir pada tahun 330 H/942 M, dan meninggal dunia pada tanggal 9 Shafar 421H/16 Pebruari 1030 M.
            Sebagaimana para peminat ketenaran dan kehidupan yang layak, Miskawaih hijrah ke Baghdad, yang kemudian membawanya mengabdi kepada al-Mahalbi al-Hasan bin Muhammad al-Azdi seoarang menteri pada Mu’izz al-Dawlah bin Buwaih tahun 348 H. sebagai sekretaris pribadinya. Sepeninggal menteri al-Mahallabi, Miskawaih kembali ke Ray yang kemudian mengabdi pada menteri Ibn al-’Amid sebagai kepala perpustakaan sekaligus sekretaris pribadinya, dan terus berlangsung sampai sang menteri wafat tahun 360 H.
Namun, petaka menghampirinya sepeninggal sang menteri Ibn al-’Amid. Putranya yang juga seorang mentri bernama Abu al-Fath ’Ali  ibn Muhammad ibn al-’Amid memenjarakannya tahun 366 H., sampai keberuntungan membawanya bertemu dengan menteri ’Adlud al-Dawlah ibn Buwaih, yang menjadikannya kepala perpustakaan dan sekaligus sekretaris pribadinya. Kariernya terus menanjak dari satu menteri ke menteri lain, dan kepada beberapa pangeran serta keluarga raja di lingkungan pemerintahan Bani Buwaih, sampai meninggal dunia tahun 421 H. di Asfahan.
Ibn Miskawaih belajar sejarah, terutama Tarikh al-Thabari kepada Abu Bakar Ahmad ibn Kamil al-Qadli (350 H./960), dan memperdalam filsafat pada Ibn al-Khammar, seorang tokoh kenamaan yang dianggap cukup menguasai karya-karya Aristotle. Ilmu-ilmu kimia Miskawaih dapatkan dari gurunya seorang ahli di bidang kimia Abu al-Thayyib al-Razi.
Ibn Miskawaih selama lebih dari tujuh tahun sebagai seorang pustakawan, yakni di saat mengabdi pada Abu al-Fadl ibn al-’Amid dan putranya Abu al-fath, untuk selanjutnya sebelum memfokuskan diri pada kerja-kerja intelektualnya, Miskawaih berkiprah dalam kabinet Ahmad ibn Buwaih (amir al-umara`: kepala pangeran) sebagai bendaharawan.
Dalam bidang ilmu pengetahuan, Ibn Miskawaih adalah sosok yang aktif. Tulisan-tulisannya dan informasi-informasi tentang dirinya dalam berbagai referensi menjadi saksi tentang keluasan ilmu pengetahuannya dan kebesaan kultur di masanya. Namun karakter utama (meanstreem) keilmuannya adalah dalam bidang sejarah dan etika. Pada bidang sejarah, lahir sebuah karya penting Tajarib al-Umam wa Ta’aqub al-Himam, sebuah karya sejarah universal. Dan dalam bidang etika, karya yang paling monumental adalah Tahdzib al-Akhlaq wa Tathhir al-A’raq.
Selain dua bidang tersebut, Ibn Miskawaih memiliki belbagai perhatian. Pada waktu-waktu tertentu dia berkesempatan mempelajari kimia pada seorang arif dan ahli di bidangnya al-Qifthi, serta dalam bidang kedokteran Miskawaih berguru kepada seorang pakar biografi para dokter Ibn Abi ’Ushaybi’ah (w. 668 H/1270 M.).
Puncak kemegahan pemerintahan bani buwaih adalah pada masa ’Adlud al-Dawlah yang berkuasa tahun 367-372 H. Dialah penguasa Islam yang mula-mula menggunakan gelar Syahinsyah (maha raja), adalah gelar yang digunakan raja-raja Persia kuno. Kecuali prestasinya di bidang politik, perhatiannya terhadap ilmu pengetahuan dan kesusasteraan amat besar. Pada masa inilah Ibn Miskawaih memperoleh kepercayaan untuk menjadi bendaharawan ’Alud al-Dawlah, dan pada masa inilah Miskawaih terkenal sebagai  seorang filsuf, tabib, ilmuan, dan sastrawan.
Tetapi, keberhasilan Bani Buwaih dalam bilang politik dan kemajuan ilmu pengetahuan di masa itu tidak dibarengi dengan ketinggian akhlak, bahkan terjadi kemerosotan akhlak secara umum, baik di kalangan elite, maupun rakyat awam kebanyakan. Adalah hal yang menyebabkan Miskawaih memusatkan perhatiannya pada etika Islam, yang membawanya dijuluki sebagai bapak etika Islam sekaligus guru ketiga (al-mu’allim al-tsalits).
Adapun karya-karya Ibn Miskawaih yang lain, diantaranya: al-Fawz al-’Akbar; al-Fawz al-Ashghar (tentang metafisika: ketuhanan, jiwa, dan kenabian); Tartib al-Sa’adah (tentang etika dan politik); Kitab Adab al-’Arab wa al-’Ajam (tentang etika); al-Hikmah al-Khalidah (tentang etika praksis) Maqalat fi al-Nafs wa al-’Aql (tentang jiwa dan akal); Risalah fi al-’Adalah (tentang keadilan); al-Mustawfi (tentang sastra); al-Jami’; al-Asyribah; al-Adwiyah (tentang kedokteran), dll.

Daftar Pustaka

Abdullah, Amin. 1966. Studi Agama: Normatifitas dan Historisitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

-------. 1995. Falsafah Kalam di Era Posmodernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Al-‘Alawi, Faris Ahmad. 1998. “Nazhariyyat al-Hikmat al-Khalidah fi Falsafat Miskawaih” dalam Al-Ma’rifah. Jurnal Kebudayaan, edisi 406, Juli. Damaskus: Kementerian Kebudayaan Republik Arab Syria.

De Boer, T.J. tt. Tarikh al-Falsafah fi al-Islam. terjemah Muhd. Abd al-Hadi Abu Ridah. Kairo: Maktabah al-Nahdlah al-Mishriyyah.

Basyir, Ahmad Azhar. M.A., K.H. 1994. Refleksi atas Persoalan Keislaman: Seputar Filsafat, Hukum, Politik dan Ekonomi. Bandung: Mizan.

-------. 1983. Miskawaih: Riwayat Hudup dan Pemikiran Filsafatnya, (Yogyakarta: Nur Cahaya.

Ibn Miskawaih. 1988. Tahdhib Al-Akhlak. terjemahan Helmi Hidayat. Bandung: Mizan.

Tim Penulis. 1993. Encyclopedia of Islam. (New Edition), vol. VII. Leiden: E.J. Brill.

Tim Penyusun. 1997. Ensiklopedi Islam. Jakarta: P.T. Ichtiar Baru Van Hoeve.

‘Izzat, ‘Abd al-‘Aziz. 1946. Miskawaih: Falsafatuhu al-Akhlaqiyyah wa Mashadiruha. Kairo: Mathba’ah Mushtafa Babi al-Halabi wa Awladuhu.

Musa, Muhammad Yusuf. 1963. Falsafah al-Akhlaq fi al-Islam wa Shlilatuha bi al-Falsafah al-Ighriqiyyah. Kairo: Muassasat al-Khanji.

Nasr, Sayyed Hossein (ed.). 1966. History of Islamic Philosophy. New York: Routledge.

Rajab, Manshur ’Ali. 1961. Taammulat fi Falsafat al-Akhlaq. Kairo: Maktabat al-Anglo al-Mishriyyah.

Sharif, M.M. (ed.).  1963. A History of Muslim Philosophy. Otto: Harrasowitz.

 
Support : Creating Website | admin | Mas Template
Copyright © 2011. Panti-Asuhan-Muhammadiyah-Madiun - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by admin wabsite PA Ponpes Muhammadiyah Madiun